Ihwal Teori Evolusi Darwin, seleksi alam, mutasi acak hingga temuan berbagai fosil dewasa ini merupakan perbincangan yang kian menarik bagi banyak kalangan. Perdebatan pun kemudian tidak bisa dihindari (Edward J. Larson, 1997)
Harian Kompas (Rabu, 7 Januari 2008) menurunkan suatu artikel berjudul ” Evolusi Darwin 150 Tahun kemudian”. Dalam artikel tersebut antara lain dipaparkan sejarah penelitian yang dilakukan Darwin di Kepulauan Galapagos hingga munculnya Teori Evolusi yang dituangkan kemudian dalam buku berjudul On the Origin of Species by means of Natural Selection.
Menurut Dr. Ninok Leksono, dalam artikel tersebut, seleksi alam sebagai fitur inti Teori Darwin dapat memastikan bahwa sifat-sifat lebih unggul yang bertahan dari generasi ke generasi. Teori ini diklaim berhasil lolos dari kajian kritis baik dari kalangan ilmiah, filsafat maupun religius.
Namun benarkah teori tersebut selalu ajeg? Lulus dan tetap tegar dari ujian percobaan ilmiah yang muncul kemudian? Apakah seleksi alam bisa menjelaskan berbagai hal pertanyaan saintifik yang muncul kemudian mengenai kompleksitas keberadaan makhluk hidup di alam?
Dua Hipotesis Lain
Dalam pandangan penulis, paling tidak ada dua hipotesis ilmiah bisa dicatat; sangat berani menantang Teori Evolusi Darwin. Yang pertama adalah hipotesis Intelligent Design yang diajukan oleh Michael Behe, dan yang kedua adalah hipotesis Formative Causation dan Morphogenetic Fields dari Rupert Sheldrake.
Michael Behe dalam artikelnya berjudul The Modern Intelligent Design Hypothesis (Philosophia Christi, Series 2. Vol 3. No 1, 2001) mengajukan suatu argumen ilmiah mengenai proses evolusi makhluk hidup. Menurutnya, seleksi alam seperti yang dijelaskankan Darwin tidak bisa menjelaskan fenomena keberadaan makhluk hidup tertentu. Behe mengajukan proses evolusi makhluk hidup (e.g. flaagella, lac operon, blood clotting) dalam kerangka ’by design’, bertentangan dengan hasil suatu mutasi acak yang purposeless tanpa tujuan seperti diyakini oleh kalangan Neo-Darwinian.
Hipotesis kedua diajukan oleh Rupert Sheldrake (Sheldrake, ” A New Science of Life – Hypothesis of Formative Causation”, 1981). Morphogenetic fields dalam konteks biologi, menurut Sheldrake, adalah suatu medan, seperti medan magnet atau medan listrik dalam fisika yang tak kasat mata, yang sangat berperan bagi perkembangan suatu objek fisik untuk mengada; menjadi being. Contohnya, karakteristik bentuk embrio atau perkembangan sistem organisme lainnya, termasuk juga perkembangan di level fisik dan kimia, seperti pembentukan kristal atau sintesis suatu senyawa.
Sistem fisiko-kimia kompleks yang belum bisa dikenali oleh eksperimen fisika ini disinyalir merupakan ’causal factors atau connecting principles’ yang merupakan ”variabel tersembunyi”. Penjelasan lebih lanjut mengenai Morphogenetic Fields dan the Hypothesis of Formative Causation berikut segala kontroversinya dapat diakses di halaman internet www.sheldrake.org dan www.youtube.com.
Hipotesis medan morfogenetik dan formative causation tersebut menurut Sheldrake bisa menjawab persoalan mendasar dalam biologi yang selama ini tidak bisa sepenuhnya dipecahkan melalui pendekatan mekanistik biasa. Oleh karena itu problem mengenai medan morfogenetik ini menarik untuk menjadi titik awal bagi penelitian lebih jauh. Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi suatu paradigma baru (Kuhn, 1962) yang merevolusi penelitian ilmiah ke depan? Hanya waktu yang bisa menjawab.
Perjalanan Suatu Teori
Dalam sejarah sains perjalanan suatu teori atau hipotesis ilmiah ternyata adalah juga perkara survival of the fittest dalam pengertian positif. Seperti hipotesis sains lainnya, dua hipotesis di atas, juga Teori Evolusi Darwin, harus selalu terbuka untuk diuji keandalannya. Teori Big Bang di ranah fisika adalah satu contoh teori yang bisa bertahan dari kritik. John Maddox, editor Nature, di tahun 1989 pernah mengganggapnya sebagai teori yang ”…unlikely to survive the decade ahead…” Hingga sekarang, Teori Big Bang masih merupakan teori sains yang sangat kuat.
Hipotesis medan morfogenetik tak terkecuali. John Maddox menulis suatu editorial tajam dan provokatif berjudul ”A book for burning?” di Jurnal Nature, 24 September1981. Dalam sebuah kesempatan wawancara Sheldrake mengatakan kritik seperti ini, juga yang pernah dilakukan Richard Dawkins dan Daniel Dennett, sebagai suatu praktik dogmatisme ilmiah. Sheldrake menimpali Dawkins dan Dennett sebagai Evangelical Darwinian tinimbang neo-Darwinian yang terbuka dan objektif terhadap ide baru dalam sains.
Perkara suatu teori atau hipotesis sukses atau tidak sebaiknya ditentukan oleh riwayat seberapa mampu ia bertahan dari sejumlah pengujian (corroboration). Menurut Karl Popper, jika dua teori dan keduanya kemudian ternyata dibuktikan salah, yang lebih baik adalah yang lebih tinggi tingkat konsistensinya dengan kenyataan di alam.
Dengan kata lain satu teori mendekati kebenaran daripada yang lain. Meminjam istilah Popper, teori tersebut akan memiliki verisimilitude (nearness to the truth) yang lebih besar. Semakin menantang dan berani mengambil resiko untuk dibuktikan gagal dalam pengujian, suatu hipotesis itu sebenarnya menjadi lebih berguna secara ilmiah (bold hypotheses).
Sikap Saintifik
Debat mengenai teori evolusi hingga sekarang dan di masa datang nampaknya akan tetap menarik. Meskipun harus diakui bahwa teori evolusi dalam beberapa versinya belum sampai pada suatu kesimpulan solid, conclusive, yang memuaskan banyak kalangan ilmuwan.
Bagi kita, keterbukaan dan apresiasi terhadap suatu proposisi ilmiah dan hipotesis tandingan yang baru, asing, tidak populer dan berani, perlu selalu dijaga sebagai bagian dari sikap ilmiah dan tanggung jawab sebagai masyarakat terdidik (Frederick Grinnell, ”The Scientific Attitude”, 1992).
Bersikap skeptik terhadap suatu hipotesis baru tentu bukanlah suatu dosa. Demikianlah seharusnya sikap seorang ilmuwan. Dari sanalah kemudian muncul upaya melakukan falsifikasi suatu teori dengan seperangkat pengujian melalui metode ilmiah. Melalui siklus ilmiah inilah kemudian pengetahuan bisa terus tumbuh dan berkembang.
Yang salah adalah jika belum-belum kita terjebak dalam dogmatisme saintifik, termasuk juga religius, seperti sering ditunjukkan sejumlah kalangan di seputar teori evolusi!
Jumat, Desember 17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar