Rasanya tidak percaya kalau dalam usianya yang masih begitu muda, kurang dari enam bulan, chem-is-try.org telah mendapat perhatian dan sambutan yang begitu hangat dari kaum cendekiawan Indonesia yang tersebar di seluruh dunia. Saran-saran dan pesan yang disampaikan lewat buku tamu maupun mailing list, merupakan dorongan semangat yang sangat besar bagi kami para redaksi, yang kadang-kadang khawatir, jangan-jangan cuma kami saja yang mengunjungi situs ini dengan teratur…
Bukti nyata dari eksistensi chem-is-try.org adalah datangnya sebuah undangan untuk menghadiri simposium terbuka dengan tema "Memikirkan Pendidikan Indonesia – Simposium Pendidikan Jiwa Sains Anak" di Sophia University, Tokyo, Sabtu lalu tanggal 17 Mei 2003. Undangan ini bahkan disertai permintaan izin untuk menampilkan chem-is-try.org sebagai salah satu media pendidikan internet dalam simposium ini. Kebetulan saya mendapat kehormatan untuk mewakili rekan-rekan redaksi lainnya untuk turut menyampaikan simpati dan kepedulian kami terhadap perkembangan pendidikan di tanah air.
Begitu melewati gerbang Sophia University, saya merasa seperti bukan berada di Jepang lagi. Universitas yang diresmikan oleh Paus Pius X di tahun 1906 ini, mempertahankan warna keinternasionalannya sampai sekarang, dan langsung dapat dirasakan dengan begitu banyaknya wajah-wajah multi ras yang dapat ditemukan di mana-mana di dalam kampus. Apalagi begitu masuk ke ruang simposium, wajah-wajah nusantara berjejal memenuhi ruangan. Sebagian besar adalah para pelajar Indonesia di Jepang, sebagian lagi adalah para penyelenggara yang berasal dari berbagai instansi seperti KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Tokyo, Kompas dan Indonesia Vision 2010, sebuah organisasi baru kerjasama Indonesia-Jepang yang bertujuan untuk meningkatkan struktur pendidikan di Indonesia. Kemudian tidak ketinggalan pula masyarakat Jepang yang peduli terhadap perkembangan negara kita. Kebanyakan dari mereka adalah kaum intelektual Jepang yang memang telah lama terlibat dalam program-program bantuan untuk negara-negara berkembang, dan pembicara utamanya pun adalah anggota tim pendukung kebijakan ekonomi Presiden Indonesia: Prof. Toshihiko Kinoshita dari Graduate School of Commerce, Waseda University, Jepang.
Profesor Kinoshita mengajak kita untuk tidak hanya memikirkan masalah pendidikan dari sisi pendidikan itu sendiri, tapi juga dari segi-segi lain di belakangya yang mau tidak mau mempengaruhi perkembangan intelektualitas bocah-bocah Pancasila. Yang dikemukakan antara lain adalah perlunya pertumbuhan ekonomi yang konsisten, perbaikan infrasruktur masyarakat (pemberantasan KKN), reformasi pendidikan dan masalah otonomi daerah dan negara kesatuan (gerakan separatisme dsb). Entah bagaimana perasaan peserta lainnya, tapi terus terang perasaan saya bercampur aduk, antara malu sekaligus berterima kasih. Malu karena masalah pribadi bangsa kita diketahui begitu detilnya oleh bangsa lain, berterima kasih karena mereka mengulurkan tangan dan tidak membiarkan kita begitu saja. Kemudian dikemukakan pula fakta mengenai betapa sedikitnya sumber daya manusia lulusan eksakta (sains) di Indonesia, hanya 7.5% dari jumlah lulusan per tahun. Sementara negara tetangga kita, Malaysia, meluluskan 34.8% mahasiswa sains, Thailand 21.6% dan yang paling banyak adalah Cina, 64.1% dari jumlah lulusan per tahun.
Menurut kepala Sekolah Republik Indonesia di Tokyo, Yukon Putra, Indonesia masih belum dapat melepaskan diri dari masalah-masalah yang sangat dasar seperti banyaknya bangunan SD yang tidak layak pakai, kurangnya buku pelajaran dan guru, dan masih belum optimalnya peranan dan partisipasi orang tua. Bagaimana mau belajar lewat internet, tambahnya, kalau listrik — karena dianggap hanya berguna untuk penerangan — dimatikan pada siang hari. Akibatnya sarana pendidikan elektronik seperti video dan komputer, yang dapat memberikan selingan dari cara belajar yang monoton dan dapat membangkitkan semangat ingin tahu anak-anak — unsur terpenting dalam membangkitkan jiwa yang cinta sains — tidak dapat dipakai.
Di tengah-tengah pembicaraan yang membuat kita menyadari betapa masih panjangnya jalan yang harus ditempuh, Duta Besar RI untuk Jepang, Abdul Irsan diundang maju ke depan. Beliau membandingkan anak-anaknya yang menempuh pendidikan di Indonesia dengan yang menempuh pendidikan di luar negeri. Dan ia mengakhiri ceritanya dengan senyum kebapakan, "Jadi saudara-saudara, saya rasa pendidikan Indonesia tidak seburuk yang saudara-saudara kira." , kalimat optimis yang mengundang tawa lega dan anggukkan penuh arti dari pada hadirin. Beliau juga menawarkan kerja sama dengan Indonesia Vision 2010 dalam memasyarakatkan acara-acara pendidikan dari stasiun televisi Jepang ke stasiun televisi Indonesia, pernyataan yang mengundang tepuk tangan yang mantap dan meriah.
Tampilnya chem-is-try.org di depan forum resmi seperti ini, yang jelas membuat kami para redaksi merasa bangga, karena jerih payah kami selama ini sudah mulai berbuah, dan sekaligus membuat kami merasakan beban tanggung jawab di pundak kami, untuk terus berkarya.. Walaupun yang kami lakukan ini tidaklah seberapa, namun kami berharap dapat membagikan rasa antusias dan peduli kami terhadap dunia sains Indonesia kepada setiap pengunjung situs ini.
Jumat, Desember 17
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar